Indeks
Bola  

Sampai Kapan Klub Badminton Indonesia ‘Bakar’ Uang?

Pembinaan badminton Indonesia terlihat baik-baik saja, namun sejatinya mengandung kekhawatiran yang cukup patut untuk direnungkan.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Pembinaan badminton Indonesia terlihat baik-baik saja, namun sejatinya mengandung kekhawatiran yang cukup patut untuk direnungkan.

Dalam banyak pertemuan, dalam banyak acara seremonial, PP PBSI seringkali dijadikan contoh ideal sebuah organisasi pembinaan di Indonesia.

Tanpa mengandalkan banyak bantuan dana dari pemerintah, PP PBSI mampu menyelenggarakan Pelatnas sepanjang tahun. Pelatnas Cipayung bisa berjalan sepanjang tahun, tak bergantung pada turunnya SK soal persiapan atlet menuju multi event dan sebagainya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Pelatnas Cipayung berdiri kokoh dan menempa sekitar 80-90 orang setiap tahunnya. Dari sanalah, kemudian muncul bintang-bintang badminton level dunia.

Tak heran bila akhirnya cabang olahraga badminton selalu bisa memikul beban sebagai pemberi prestasi dan pengharum nama bangsa. Hingga saat ini, bulutangkis masih jadi satu-satunya cabang olahraga yang mampu memberikan emas Olimpiade untuk Indonesia.

Kokohnya Pelatnas Cipayung sebagai penghasil bintang-bintang badminton kelas dunia tak lepas dari peran penting klub-klub yang tersebar di Indonesia. Layaknya sebuah bangunan, klub-klub adalah pondasi utama dalam sebuah bangunan bernama regenerasi badminton Indonesia.


Kehadiran klub adalah pondasi utama pembinaan dan regenerasi badminton di Indonesia bisa terus berjalan. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim)

Kehadiran klub-klub yang tersebar di Indonesia mempermudah regenerasi badminton berjalan dengan mulus. Klub-klub ini yang memupuk dan merawat bibit-bibit badminton Indonesia.

Ketika bibit-bibit ini tumbuh bagus, PBSI akan memilih dan berusaha mematangkannya sebagai sosok pemain juara.

Masalahnya, dalam pembinaan badminton Indonesia yang terlihat lancar, bagus, dan baik-baik saja tersebut, ada sebuah celah menganga. Celah tersebut berhubungan dengan model pembinaan.

Model pembinaan usia muda di Indonesia adalah model bakar uang. Klub-klub yang ada dan rutin menyumbangkan pemain-pemain ke Pelatnas, semuanya berjalan dengan membakar uang.

Baik itu klub yang ditopang perusahaan besar macam PB Djarum, PB Jaya Raya, dan PB Exist, maupun klub-klub besar lain macam SGS, Tangkas, Mutiara, dan Suryanaga, semua seirima dalam hal membakar uang.

Klub-klub besar di dunia badminton tidak bisa disamakan dengan klub-klub sepak bola di Indonesia. Di badminton Indonesia, klub tidak punya ruang untuk meraup pemasukan.

Di dunia sepak bola, klub-klub bisa mendapat pemasukan dari sponsor, hak siar televisi, merchandise hingga tiket masuk laga kandang.

Sponsor yang berpartisipasi bakal terpampang produknya seiring dengan penampilan klub-klub yang bisa disaksikan lewat layar kaca ataupun langsung di stadion. Klub bisa mendapatkan ratusan juta dari tiket masuk di tiap laga kandang.

Sedangkan di dunia badminton, misi utama klub-klub adalah berperan sebagai pemasok pemain-pemain untuk generasi mendatang ke Pelatnas PBSI.

Memang ada kejuaraan antarklub yang bergengsi seperti Kejuaraan Nasional yang diselenggarakan dua tahun sekali atau Superliga yang merupakan kompetisi swasta.

Kompetisi itu krusial, bergengsi, dan punya nilai tinggi untuk dimenangkan sebuah klub. Namun dari segi materi, dua kompetisi itu tidak memberikan apa-apa selain prize money yang jumlahnya tidak ada apa-apanya dibanding jumlah uang yang telah mereka keluarkan.

Dalam satu tahun, klub-klub menggelontorkan dana pembinaan bervariasi. Mulai dari kisaran Rp10 miliar hingga di atas Rp20 miliar.

Ada sejumlah sponsor yang masuk untuk membantu proses pembinaan dan regenerasi yang dilakukan klub-klub, utamanya sponsor apparel dan peralatan bulutangkis. Namun secara umum, sponsor yang masuk tidak akan benar-benar bisa membuat neraca keuangan sebuah klub bergerak menjulang tinggi di sisi keuntungan.


PB SGS Bandung. (CNN Indonesia/Muhammad Hirzan)Regenerasi badminton Indonesia bisa terus berlanjut jika roda organisasi tiap klub bisa terus berdenyut. (CNN Indonesia/Muhammad Hirzan)

Bahkan untuk sekadar membuat dana sponsor benar-benar membuat pengeluaran impas pun, klub-klub Indonesia masih kesulitan.

Pada akhirnya klub-klub harus merogoh kocek sendiri. PB Djarum dan PB Jaya Raya lewat program CSR perusahaan-perusahaan di belakang mereka, kerja sama seperti Mutiara dengan Cardinal, atau dana pribadi pihak-pihak yang peduli pada klub seperti dilakukan oleh Suryanaga, Tangkas, dan SGS.

Dana pembinaan sebesar Rp10 miliar hingga Rp20 miliar per tahun sejatinya merupakan jumlah yang bisa dipenuhi oleh banyak pihak di Indonesia dengan tajuk sebagai sponsor.

Namun fakta yang ada, klub-klub klasik yang sudah banyak menghasilkan pemain juara dunia dan juara Olimpiade pun masih kesulitan mendapatkan sponsor untuk pembinaan saat ini.

Hitung-hitungan pembinaan badminton adalah sebuah matematika yang tidak pasti. Menggelontorkan dana sebesar Rp20 miliar setiap tahun pun tidak jadi garansi dana pembinaan tersebut bakal setidaknya menghadirkan satu juara dunia.

Dari sudut pandang klub, setelah mereka sukses membina pemain-pemain yang kemudian lolos ke Pelatnas Cipayung, klub-klub pun tidak mendapat keuntungan dari segi materi. Klub-klub badminton di Indonesia tidak punya banyak cara untuk mereguk pemasukan dan masih jauh bila berpikir tentang keuntungan.

Pemain-pemain binaan mereka yang sudah jadi pemain bintang pun tidak bisa terlalu jadi daya tarik bagi klub untuk menggaet sponsor. Pasalnya mereka sudah bergabung dengan Pelatnas Cipayung dan berkembang jadi daya tarik pihak-pihak untuk jadi sponsor PBSI.

Dengan kondisi yang berdarah-darah, banting tulang demi ciptakan pemain bintang, klub-klub tersebut masih terus berusaha tegak berdiri.

‘Demi Indonesia’ adalah jawaban yang seragam dilayangkan kenapa klub-klub masih bisa dan terus berusaha bertahan.

Pada akhirnya, sistem pembinaan badminton Indonesia sudah terbentuk seperti ini. Klub berdiri tanpa bisa berharap keuntungan. Hal itu pula yang bakal membuat munculnya kekuatan besar baru di tataran pembinaan badminton makin sulit untuk diharapkan.

Namun sejauh mana sistem seperti ini bisa bertahan?

Selama ada pihak-pihak yang rela berkorban membakar uang demi pembinaan badminton Indonesia, selama itu pula regenerasi badminton Indonesia akan tetap berjalan.

Tetapi bila ada perubahan sikap, perubahan situasi dan keadaan, atau perubahan cara pandang pada diri dan pihak yang selama ini terlibat dalam pembinaan, alarm tanda bahaya patut dinyalakan.

(har)






LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS

Sumber: www.cnnindonesia.com

Exit mobile version