Bola  

Pelopor Sukses Klan Mainaky dan Ganda Campuran

Richard Mainaky adalah sang pembuka jalan, baik untuk Keluarga Mainaky maupun untuk perintis sukses besar nomor ganda campuran Indonesia.

Jakarta, CNN Indonesia

Semifinal Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir jadi wakil Indonesia satu-satunya yang masih bertahan. Saya punya keyakinan bahwa ini sudah waktunya target medali emas tercapai.

Perjalanan Owi/Butet sendiri tidak mulus. Semakin mendekati Olimpiade, tekanan psikologis atlet makin tinggi. Atlet makin sensitif. Kalau kalah, saling menyalahkan. Dari situ saya coba counter situasi dengan mengambil tim psikolog.

Media sosial itu bisa memberi motivasi tetapi kadang bisa membuat efek negatif. Dari situ sering muncul komentar seperti Butet yang bagus, Owi yang kurang bagus. Di mana-mana seperti itu.

Mungkin karena Owi merasa dia juga sama-sama juara, lalu kadang suka dibicarakan oleh teman -temannya, misal: “Kan main berdua, kalau gak ada kamu kan gak juara”. Dari situ Owi sudah mulai naik egonya.

Jadi kadang-kadang tidak mau terima kalau Butet ngomong. Ada satu waktu saya kasih satu pelajaran. Di satu turnamen, kalau tidak salah di Hong Kong Open, saya bilang ke Butet dalam bahasa Manado.

“Kamu pokoknya lagi pertandingan tidak boleh marah. Walaupun Owi bikin salah, tetap senyum. Kasih Owi berkembang di lapangan.”

Butet bilang: “Siap Kak”.




Richard Mainaky sudah lama memburu emas Olimpiade dan akhirnya berhasil mengantarkan atletnya juara pada Olimpiade 2016. (Detikcom/Rachman Haryanto)

Akhirnya gak bisa main. Semua mati. Butet diam saja. Tidak ada lagi ucapan seperti ‘Ayo Owi’, atau masih semangat dan marah-marah. Hal itu tidak terjadi.

Selesai main, Owi datang dan panggil kami. Owi lalu bilang:

“Saya tidak mau beginilah. Ci Butet mau marah gak apa-apa. Saya tidak bisa main seperti ini.”

Di situ mulai, Owi baru sadar bahwa memang harus seperti itu. Owi itu harus dipacu. Pagi, siang, sore, saya pacu terus. Tidak bisa istirahat. Di pertandingan, di dalam lapangan dan di luar lapangan dipacu terus. Dia tidak bisa dilepas begitu saja. Di situ mulai kembali timbul saling mendukung, saling percaya.

Kembali jelang persiapan semifinal, Owi/Butet ketemu Zhang Nan/Zhao Yunlei. Kalau dari sejarahnya, Owi/Butet lebih banyak menang lawan Zhang Nan/Zhao Yunlei bila bertemu di semifinal. Beda bila bertemu di final, lebih banyak Zhang Nan/Zhao Yunlei yang menang.

Selain faktor itu, saya juga sudah pelajari permainan Zhang Nan/Zhao Yunlei. Kan sebelum bertemu Owi/Butet, Zhang Nan/Zhao Yunlei sempat bertemu Praveen/Debby di babak penyisihan.

Saat itu kami punya sistem video yang dikelola Pak Basri Yusuf. Jadi kami pelajari kekuatan dan kelemahan lawan dari video tersebut.

Ketika Praveen/Debby melawan Zhang Nan/Zhao Yunlei, memang di game pertama kalah. Tetapi di game kedua hampir menang. Saya pegang strategi itu dan saya terapkan kembali ke Owi/Butet. Dan benar-benar sangat gampang karena menang dua game langsung.

Sebelum pertandingan, ada orang-orang yang bilang: “Mumpung lawan lagi berantem”. Saya bilang hal itu tidak pengaruh.

Walaupun ada yang bilang Zhang Nan dan Zhao Yunlei lagi berantem, kenyataannya mereka bisa sampai semifinal. Saya benar-benar tak mau terpengaruh.

Kalau saya terpengaruh, saya gak pakai strategi, cuma berharap mereka berantem, bakal jadi lengah. Mereka tetap bagus terus mainnya. Gimana hayo?

Masuk ke final, Owi/Butet lawan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying. Sehari sebelum pertandingan, saya terus waspada meskipun status Owi/Butet lebih diunggulkan. Masak tiga kali medali perak lagi. Yang ketiga harus jebol medali emas. Saya benar-benar teliti.

Saya tetap waspada karena Xu Chen/Ma Jin adalah pasangan kuat, dan Chan/Goh bisa melewati mereka di semifinal. Owi/Butet saja setengah mati untuk bisa menang kalau berjumpa Xu/Ma. Saya tak mau kekalahan di final Olimpiade kembali terulang.




Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir naik ke Bandros dan memulai arak-arakan menuju Kemenpora. (CNN Indonesia/Putra Tegar)Tontowi/Liliyana berhasil jadi juara Olimpiade 2016.  (CNN Indonesia/Putra Tegar)

Yang seharusnya medali emas bisa didapat, malah tidak didapat. Karena itu saya terus tekankan Owi/Butet agar jangan lengah. Sebelumnya, saya dua kali mengantar wakil Indonesia ke final Olimpiade dan semuanya berujung medali perak.

Tri Kusharjanto/Minarti Timur sudah menang 15-1 di set pertama dan unggul 14-11, kalau tidak salah di set kedua. Mereka hanya butuh satu poin lagi untuk bisa jadi juara Olimpiade 2000. Ternyata blank. Trikus/Minarti kesusul dan kalah di set kedua lalu tidak bisa lagi bermain di set penentuan.

Pemain China, si Gao Ling bahkan sampai bilang seharusnya medali emas itu punya Trikus/Minarti. Gao Ling pun sudah geleng-geleng kepala saat itu.

Saya tanya Minarti setelah pertandingan: “Kenapa bisa seperti itu, banyak bola out, bola tanggung?”

“Iya kak, saya buyar karena mikir kok saya dapat medali emas.”

Itu jawaban dia. Pikiran dia sudah medali. Disusul, kemudian kalah. Di set ketiga, Trikus yang sudah tidak bisa main baik. Seperti sudah menyesali kegagalan di set kedua. Saya bilang ini kan belum selesai pertandingannya, tetapi dari psikologis pemain sudah susah. Ganda China bangkit sedangkan kita terpuruk.

Sedangkan di Olimpiade 2008, kita punya peluang menciptakan All Indonesian Final lewat Nova/Butet dan Flandy/Vita. Tetapi Flandy/Vita kalah di tangan Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung.

Laga Flandy/Vita vs Lee/Lee itu ramai sekali. Rubber set dan rapat. Kalau Flandy staminanya tidak habis, itu saya rasa bisa menang dan terjadi All Indonesian Final. Saat itu Flandy memang sudah berumur jadi staminanya sudah cukup habis.

Di babak final, staminanya Nova juga sudah cukup habis dan terkuras. Soalnya di laga semifinal, Nova/Butet juga dapat lawan yang berat. Sedangkan Lee/Lee itu kuat defense-nya.

Tipe main Nova itu adalah tipe pemain yang tidak punya pukulan bersifat killer. Ia punya cara main yang bisa terus menahan reli, rapi, drive bagus. Nova berkata bahwa dia memang sudah cukup habis. Bola-bola darinya tidak lagi menekan, biasanya bola Nova yang menekan lalu diselesaikan oleh Butet di depan net.

Andai Flandy/Vita bisa menang, All Indonesian Final sudah terjadi lalu emas serta perak sudah dapat dikantongi. Semua pasti kita sesali saat itu. Tetapi saya bertekad sampai dapat medali emas, saya tidak akan berhenti.

Pagi hari jelang final, saya baca renungan harian. Saat Olimpiade itu, memang kami semua punya cara masing-masing. Saya berdoa tiap malam, sedangkan Owi menggelar pengajian dan doa-doa di rumahnya.

Di pagi hari itu, saya baca renungan harian. Di situ diulas bahwa kita harus patuh sama pemerintah. Ada tulisan bahwa setiap atlet dikalungkan medali emas, itu sangat mengharukan dan sangat membanggakan bangsa.

Itu saya baca di pagi hari jelang final Olimpiade. Saya kaget. Lalu saya tutup renungan harian itu.

Saya berdoa: “Tuhan, saya minta bacaan pagi ini tentang pengalungan medali emas ini bisa tercapai nanti sore. Kebetulan atlet saya tampil di final nanti. Saya berdoa minta supaya bacaan itu terbukti nanti sore.”




Richard MainakyRenungan Harian yang dibaca Richard Mainaky. (Arsip Pribadi Richard Mainaky)

Ketika pertandingan berakhir dan Owi/Butet menang, saya tidak lompat ke lapangan. Biasanya kan kalau atlet menang, pelatih ikut lompat ke lapangan. Saat itu Owi sudah tiduran di lapangan dan mengajak saya masuk. Tetapi saya tetap di luar lalu kemudian Butet yang malah menghampiri saya.

Banyak wartawan yang tanya, kenapa pelatihnya tidak lompat ke lapangan dan malah tetap duduk di kursi. Ada yang bilang saya keram, saya kaget, sehingga tidak bisa berdiri dan lompat. Tetapi yang benar adalah saya diam di kursi karena saat itu saya sedang bersyukur karena doa saya terkabul.

Baca lanjutan kisah ini di halaman berikut >>>


Pembuka Jalan Keluarga Mainaky

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Sumber: www.cnnindonesia.com