Bola  

Keringat Orang Tua Ginting dan Mereka yang Buka Jalan Mimpi Anak Juara

Perjalanan dari atlet muda hingga menjadi atlet kelas dunia demikian berat dan panjang. Peran orang tua sangat besar membuatnya jadi lebih ringan.

Jakarta, CNN Indonesia

Jumat malam sudah menjelang. Ketika banyak keluarga sudah memikirkan rencana menghabiskan akhir pekan, Yusmardani tengah mengantar sang anak meniti cita-cita menjadi pebulutangkis kelas dunia.

Yusmardani yang tinggal di Bogor memacu kendaraannya menuju Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Di sana, ia mengantar sang anak untuk ikut kompetisi antar pelajar.

Bagi Yusmardani, kegiatan mengantar anak berkompetisi adalah hal yang lazim dilakukannya di sela kesibukan sebagai pekerja.

Yusmardani memiliki dua orang anak, Shirin yang berusia 13 tahun dan Davin yang berumur 8 tahun. Pada kedua anaknya tersebut, Yusmardani melihat ada tekad kuat untuk memilih badminton sebagai jalan hidup.

“Saya hobi main bulutangkis. Saya sering bawa mereka ke lapangan. Lama-lama mereka menyukai bulutangkis,” tutur Yusmardani.

Davin bahkan sudah mulai ikut berkompetisi sejak usia enam tahun. Berbagai kompetisi sudah diikuti oleh Davin dan sejumlah gelar juara pernah ia menangkan.


Yusmardani mendukung penuh keinginan anak untuk berkarier sebagai pemain badminton. (Arsip Istimewa)

Yusmardani mengaku tak pernah memaksa anaknya untuk memilih badminton sebagai jalan hidup. Ia melihat kesungguhan anaknya dan tugasnya sebagai orang tua adalah mendukungnya penuh.

“Davin sudah lama berlatih di PB Sangkuriang Badminton Club. Iuran sekitar Rp300 ribu-Rp500 ribu sebulan. Total biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhannya sebagai atlet sekitar Rp1 jutaan.”

“Kalau bertanding ke luar kota saya menemani. Misalnya kemarin bertanding di Bandung, saya cuti dari kantor,” ujar Yusmardani.

Dengan usia Davin menginjak delapan tahun, Yusmardani menyebut sang anak ingin melanjutkan karier ke klub-klub yang lebih besar seperti Exist, SGS, Tangkas, Mutiara, dan Jaya Raya. Yang terdekat, Davin ingin berjuang menembus Audisi Umum PB Djarum. Yusmardani bahkan sudah menyiapkan rencana matang bila sang anak lulus audisi.

“Andai anak saya lolos, ada opsi istri tinggal di Kudus untuk menemani biar tidak terlalu jauh. Anak saya juga sudah tahu soal bahwa ia harus masuk asrama dan tinggal terpisah dari orang tua bila masuk ke PB Djarum.”

“Bila melihat Davin main, saya yakin. Namun saya juga memberi batasan. Bila dia tidak bisa berprestasi hingga usia 14 tahun, saya ingin dia kembali memilih fokus di belajar. Tetapi bila ia terus melaju dan berprestasi, tentu saya akan terus mendukung,” tutur Yusmardani.

Harus Dimulai Sejak Dini

Perjuangan Yusmardani adalah gambaran mayoritas dalam bagian pembinaan dan regenerasi badminton di Indonesia. Sulit bagi seorang anak untuk bisa meniti karier sebagai pemain badminton di Indonesia tanpa peran, dukungan, dan restu orang tua.

Pasalnya, jalan menjadi pemain kelas dunia di badminton harus dimulai dari usia yang sangat dini. Karena itu, peran orang tua hampir mutlak harus ada.

Bahkan dalam perjalanan karier pemain-pemain besar macam Greysia Polii dan Tontowi Ahmad, peran orang tua sangat terasa.

Ibunda Greysia membawa Greysia ke Jakarta setelah melihat sang anak berbakat di bidang bulutangkis dan punya tekad untuk bisa berprestasi dan jadi juara. Sementara itu ayah Tontowi adalah sosok yang terus mendorong Tontowi untuk semangat latihan ketika sang anak sempat malas-malasan latihan.

Ketika Yusmardani tengah berupaya mendorong kuat tekad sang anak untuk bisa meniti mimpi jadi atlet badminton kelas dunia, sosok orang tua lain bernama Ferry Kinalsal sudah melewati proses itu.

Ferry jadi salah satu orang tua yang aktif mendukung sang anak menyusuri jalan jadi pemain kelas dunia di dekade 2000-an hingga 2010-an. Ferry punya tiga anak yaitu Felix, Vincent, dan Eunice.

Awalnya Felix mengikuti les renang sebelum akhirnya pindah menekuni badminton. Melihat Felix bisa berprestasi di kejuaraan kota, Ferry lalu mendukung niatan Felix untuk serius menjalani karier di dunia badminton.


Keluarga Ferry Kinalsal. (Arsip Ferry Kinalsal)Ferry Kinalsal mendukung anak-anaknya yang hobi bermain badminton. (Arsip Ferry Kinalsal)

Dua anak Ferry lainnya, Vincent dan Eunice juga berprestasi. Vincent bersama tim sekolahnya pernah juara Milo School Competition tingkat SMP, sedangkan Eunice juara di tingkat SD. Vincent satu angkatan dengan Jonatan Christie, sedangkan Eunice segenerasi dengan Jauza Fadhila Sugiarto dan Aurum Oktavia Winata.

“Tetapi akhirnya mereka tidak lanjut dan fokus ke belajar. Sebagai orang tua, saya harus melihat keinginan anak dan semangat anak. Sebagai orang tua, harus bisa melihat situasi. Kapan harus mendukung anak, kapan tidak boleh memaksa.”

“Selain itu biaya yang dibutuhkan juga besar. Karena selain latihan di klub, saya juga harus keluar uang untuk latihan privat demi bisa mengasah kemampuan. Juga ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Karena itu akhirnya hanya Felix yang terus melanjutkan kariernya di bulutangkis,” kata Ferry.

Di masa junior, Felix sempat berpasangan dengan Edy Subaktiar dan Kevin Sanjaya Sukamuljo. Ferry terus mendukung karier Felix hingga akhirnya Felix bisa menembus Pelatnas Cipayung. Ketika akhirnya Felix harus terkena degradasi, Ferry pun terus berada di samping sang anak untuk membesarkan hatinya.

“Saya bilang ke Felix bahwa dia masih muda masih banyak kesempatan yang ada di depan mata. Saya lihat saat itu memang dia sempat down karena degradasi di pelatnas.”

“Di luar pelatnas, Felix juga sempat tetap aktif mengikuti turnamen namun memang sulit untuk mencari pasangan yang sesuai,” tutur Ferry.

Felix kemudian fokus ke belajar dan melanjutkan kuliah. Badminton masih ia tekuni di sela kesibukan tersebut hingga akhirnya ia kini bekerja di salah satu bank BUMN.

“Jadi bisa masuk kerja 50-50 karena kemampuan dan badminton juga. Felix diajak oleh teman main badminton dan ia kini juga tergabung di tim badminton tempat ia bekerja,” kata Ferry.

Ferry yakin masih banyak orang tua yang tidak ragu mendorong anaknya jadi pemain badminton di masa kini.

“Karena masa depan atlet di badminton saat ini semakin bagus, saya yakin banyak orang tua yang mendukung. Pesan saya, orang tua harus tahu dan memahami keinginan sang anak, jangan pernah memaksa.”

“Selain itu dengan banyaknya bibit-bibit berkualitas di Indonesia, saya harap klub-klub dan PBSI bisa lebih baik,” ucap Ferry.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>



Edison, Anthony Ginting, dan Sepanjang Jalan Kenangan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Sumber: www.cnnindonesia.com