Indeks
Bola  

Cerita Legenda Pemain Serba Bisa

Bambang Supriyanto, pemain bulutangkis yang bisa masuk tujuh besar di tiga nomor berbeda yaitu tunggal, ganda, dan ganda campuran berbagi kisahnya.

Jakarta, CNN Indonesia

“Bang, gimana kira-kira kalau kamu main di ganda, kan kamu dulu main gandanya juga bagus? Kebetulan Gunawan ini kosong pasangannya.”

Itulah ucapan Koh Christian Hadinata di paruh akhir tahun 1992. Koh Chris ingin saya bermain di nomor ganda. Mungkin waktu itu sekadar omong-omong saja dan akhirnya saya setuju untuk mencoba di 1-2 turnamen.

Sebenarnya saat itu saya dilema. Saya sudah ranking tujuh di nomor tunggal putra. Besar sekali dilema yang saya alami. Mau meneruskan berkarier di nomor single atau pindah ganda mulai dari nol.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

Bulutangkis itu kan bagi pemain adalah masa depan. Bila tidak berprestasi, tentu masa depan akan lebih sulit. Jadi benar-benar saya dilanda dilema waktu itu. Main di tunggal sudah ranking tujuh, sedangkan di ganda harus mulai dari nol.

Dulu, dan bahkan mungkin sampai sekarang, gengsi nomor tunggal itu paling tinggi. Dulu soal nilai kontrak pemain, tunggal putra juga paling tinggi. Bukan berarti saya materialistis, namun itulah kenyataannya.

Tetapi akhirnya saya berani mencoba. Kata Koh Chris akhirnya saya dicoba pasangan dengan Gunawan di Belanda dan Jerman. Selain tampil di ganda, saya juga masih turun di nomor tunggal putra.

Di Belanda saya kalah di perempat final pada nomor tunggal dan kalah di semifinal pada nomor ganda. Dari situ sebenarnya bisa terlihat bahwa duet saya dan Gunawan bisa berprestasi.

Saat di Belanda saya merasa berat bermain rangkap. Begitu main di Jerman saya memutuskan mengundurkan diri dari nomor tunggal dan fokus di nomor ganda. Kami lalu bisa masuk final meski di final kalah. Dari situ saya langsung fokus ke ganda sepenuhnya dan tidak lagi main di nomor tunggal.

Selain soal memutuskan pindah nomor, tahun 1992 juga jadi salah satu tahun penting dalam perjalanan hidup saya. Pada persiapan menuju Thomas Cup 1992, saat masih main di nomor tunggal, ibu jari tangan kanan saya putus di Malaysia.


Christian Hadinata jadi sosok yang melihat potensi Bambang di nomor ganda putra. (CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)

Saat itu sekitar April atau Mei, kami tiba di Malaysia. Karena saya termasuk pemain yang junior, saya kebagian tugas membawa troli berisi air mineral. Air mineral itu ukuran 1 liter dan ada sekitar 14 dus yang saya bawa saat itu.

Di bandara, jarak menuju turun trotoar itu sekitar sejengkal. Bila saya terus dorong troli, tentu troli-nya akan jatuh ke depan. Karena itu saya memilih membalik troli, lalu menurunkan troli dengan menarik sambil menjaga beban troli.

Ternyata tangan saya masuk ke ring, ya sudah rasanya kayak dipancung saja. Ibu jari saya terjepit terus terpotong. Hanya di ujungnya saja. Ujungnya putus dan sampai sekarang ibu jari saya tidak normal.

Padahal andai tak ada insiden itu, mungkin saya bisa main di Thomas Cup 1992 sebagai tunggal ketiga atau keempat. Bahkan saat seleksi Thomas Cup nomor tunggal, saya sebenarnya duduk di peringkat kedua.

Akhirnya saya menjalani operasi plastik. Sembuh. Kuku juga masih tetap tumbuh. Tetapi kulit yang ada jadi kulit lembek bukan kulit keras seperti sebelumnya.

Insiden itu di bulan Mei dan saya baru bisa tampil di kejuaraan lagi sekitar bulan Juli atau Agustus. Sekitar tiga bulan saya absen dan tidak bisa latihan teknik.

Walaupun tidak bisa latihan teknik karena ibu jari saya terluka, saya tetap latihan lain. Fisik saya jaga terus. Saya juga tetap latihan angkat beban. Istilahnya, karena hanya ibu jari yang terluka, latihan fisik lari tentu tetap bisa, begitu juga angkat beban. Hanya pegang raket saja yang tidak bisa sehingga latihan teknik tidak bisa dilakukan.

Efek ujung ibu jari kanan putus itu membuat saya tidak bisa backhand dengan baik ketika kembali bermain. Dua turnamen awal yang saya ikuti, Indonesia Open di Semarang dan Singapore Open, saya kesulitan untuk melakukan backhand.

Bila sekadar untuk defense, saya masih bisa. Tetapi bila lawan mendorong shuttlecock terlalu ke belakang dan saya harus mengembalikan dengan backhand, itu saya tidak bisa.

Akhirnya mau tidak mau bila mendapat pukulan seperti itu, saya harus overhead terus. Saya harus mempercepat gerakan dan mengambil shuttlecock yang sebetulnya ke arah backhand dengan overhead. Jadi harus gerak lebih cepat agar bisa overhead.

Ujung ibu jari itu salah satu tumpuan untuk backhand. Karena itu ketika mengalami cedera itu, saya tidak langsung bisa melakukan pukulan backhand seperti biasanya.

Insiden itu yang juga sempat membuat saya berpikir, “Apakah saya mungkin melanjutkan karier sebagai pemain lagi?”

Karena saya harus melakukan berbagai penyesuaian, termasuk penyesuaian pegangan. Namun di dua turnamen awal saat saya tak bisa backhand dengan baik itu, saya bisa lolos sampai semifinal.

Saya tidak melakukan terapi lanjutan. Solusi dari cedera ibu jari itu akhirnya saya temukan dengan menggunakan plester ukuran jumbo. Dengan memakai plester ukuran jumbo, bekas daging yang baru sembuh itu bisa tertutupi.

Soalnya bagian itu masih sakit kalau terkena tekanan. Jadi saya sempat tak berani ambil risiko, takut kembali pecah atau apalah karena kulitnya tipis sekali.


Tim Indonesia memberikan dukungan di Kunshan Sport Center, China, Jumat (20/5), pada semifinal Piala Thomas 2016.Bambang Supriyanto saat masuk sebagai tim pelatih di Piala Thomas 2016. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman)

Berjaya Bersama Gunawan

Berpasangan dengan Gunawan tidak gampang bagi saya. Gunawan sudah juara All England dan mendapat medali perak Olimpiade. Saya belum ada apa-apanya di nomor ganda.

Bila kami kalah, Gunawan terus memotivasi saya. Dia bilang, “Ayo lebih semangat lagi”. Dia seperti terus memacu saya.

Saya pun bertekad untuk latihan lebih keras di nomor ganda mengejar ketinggalan. Bila dibilang ketinggalan, saat itu saya memang ketinggalan. Apalagi dibandingkan Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky yang memang sudah punya pengalaman.

Sebagai gambaran, kondisi persaingan di nomor ganda putra selepas Olimpiade 1992 dan di tahun 1993 itu memang sedang dalam masa peralihan. Eddy Hartono/Gunawan, Park Joo Bong/Kim Moon Soo, Razif Sidek/Jalani Sidek, dan Li Yongbo/Tian Bingyi yang sebelumnya merajai papan atas sudah tidak ada lagi.

Saat itu sedang masa peralihan generasi baru. Makanya Ricky/Rexy bisa benar-benar merajai di tahun 1993.

Saya dan Gunawan bisa juara di Thailand Open dan China Open pada 1993. Namun saat itu Ricky/Rexy tidak ikut. Pertemuan kami dengan Ricky/Rexy baru terjadi di Grand Prix Finals 1993. Saat itu kami berhasil mengalahkan Ricky/Rexy yang sering menang di 1993.

Masuk ke 1994, saya dan Gunawan bisa memenangkan All England, juga dengan mengalahkan Ricky/Rexy di babak final. Kemenangan itu membuat saya dan Gunawan menggeser Ricky/Rexy di posisi nomor satu dunia. Kami jadi ganda putra nomor satu dunia.

Kami bisa mengalahkan Ricky/Rexy dalam dua turnamen penting. Dalam pikiran saya, hal itu bisa terjadi karena saya punya keyakinan dan tidak mau kalah. Modalnya itu saja.

Walaupun saya sedikit di bawah Ricky/Rexy, sedangkan Gunawan waktu itu menurut saya masih di atas mereka, saya punya tekad. Saya mantan pemain tunggal yang punya fisik bagus, punya power bagus.


Ricky/Rexy sangat dominan di tahun 1993 namun bisa dikalahkan Gunawan/Bambang di Grand Prix Finals.(AFP PHOTO/TOSHIFUMI KITAMURA)

Apapun yang terjadi, kalau dapat bola atas, saya berani smes. Mau sampai 10 kali, 15 kali, saya harus siap terus. Itu tekad saya waktu itu.

Keberhasilan menjadi ganda nomor satu dunia berdampak pada persiapan menuju Thomas Cup 1994. Formasi Indonesia pun berubah, saya dan Gunawan jadi ganda pertama sedangkan Ricky/Rexy jadi ganda kedua.

Formasi itu bisa dibilang ada untung-ruginya. Bila saya dan Gunawan main di ganda pertama, peluang kami menang 50:50 ketika bertemu ganda Malaysia, China, Denmark, atau Korea yang ganda pertamanya bagus.

Namun di sisi lain, Indonesia sudah pasti bakal dapat angka dari ganda kedua karena Ricky/Rexy pasti menang melawan ganda kedua negara lain.

Akhirnya saya tampil di Thomas Cup untuk pertama kalinya di 1994. Saat itu main di Istora. Kalau mentalnya tidak kuat, tentu saya tidak akan bisa mengeluarkan permainan.

Di babak-babak awal, saya masih merasa grogi. Namun begitu masuk semifinal dan final, grogi tersebut bisa hilang.

Tim Indonesia di Thomas Cup 1994 dan 1996 menurut saya adalah Dream Team. Tunggal putra Indonesia saat itu bagus-bagus, begitu juga gandanya. Bila di Thomas Cup 1994 masih ada perasaan grogi karena tampil di Istora dan Indonesia sudah lama tidak menang Thomas Cup, di edisi Thomas Cup 1996 perasaan itu sudah tidak ada. Kami bisa menang di Thomas Cup 1996 dengan skuad yang hebat.

Dalam perjalanan menuju Olimpiade 1996, saya dan Gunawan juga masih meraih sejumlah prestasi. Di akhir 1995, kami malah berhasil juara US Open di arena yang bakal jadi tempat penyelenggaraan Olimpiade.

Kemenangan itu membuat saya makin punya keyakinan bisa jadi juara Olimpiade.

Namun di Olimpiade kami kalah di babak kedua. Ya di Olimpiade kadang-kadang hal yang tidak bisa jadi mungkin. Hasil itu yang paling mengecewakan selama saya berpasangan dengan Gunawan.

Kadang-kadang mungkin karena terlalu menggebu-gebu jadi bumerang bagi kami sendiri. Setelah Olimpiade 1996, saya dan Gunawan tidak lagi berpasangan.

Baca lanjutan cerita ini di halaman berikut >>>



Satu dari Tujuh Pendekar Badminton

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Sumber: www.cnnindonesia.com

Exit mobile version